FENOMENA DA’WAH DALAM TAHDZIR IRJA’ DAN KHOWARIJ

oleh: M. Tamimudin
A. Pengertian Da’wah
Da’wah "دعوة" adalah bahasa arab yang merupakan isim mashdar (kata asal) dari دعا - يدعو – دعوة yang memiliki arti; ajakan, seruan, undangan, atau panggilan.
Kata da’wah "دعوة" merupakan satu kegiatan mengajak, memanggil dan menyeru orang lain kepada apa yang diinginkan syari’at Islam secaara terencana, terukur dan terevaluasi. Da’wah harus dilaksanakan dengan teori. Perencanaan yang matang, penelitian lapangan atau literature, pengorganisasian dan manajemen da’wah yang baik, kemudian mengevaluasisi hasil dan melakukan perobohan cara untuk masa yang akan datang, bila ternyata cara-cara terdahulu mempunyai kelemahan atau kekeliruan.
Da’wah menurut pengertian tokoh Islam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: da’wah adalah mengajak mengimani Allah SWT, mengajak mengimani ajaran yang telah dibawa rosulNya dan mentaati perintah mereka. Inilah yang dimaksud da’wah ilallah.
Moh. Natsir menyebutkan, da’wah adalah usauha-usaha menyeru dan menyampaikan kepada perorangan manusia maupun seluruh umat, tentang konsepsi Islam, pandangan hidup dan tujuan hidup manusia didunia ini. Yang meliputi amar ma’ruf nahi mungkar, dengan berbagai cara dan media yang diperbolehkan bertujuan membimbing prikehidupan perorangan, rumah tangga, bermasyarakat dan bernegara.
B. Tanggung Jawab Da’wah
Setiap manusia membutuhkan da’wah karena ia merupakan kebutuhan pokok yang tidak jauh beda dengan kebutuhan pokok material lainnya, ia merupakan pengisi kehampaan berfikir, pengisi kekosongan jiwa, pengisi ilmu pengetahuan, pencegah kesalahan tindakan, penerang kebenaran dan pembeda antara yang hak dan yang bathil, oleh karena itu menyeru sebagai yang ma’ruf dan mencegah pada yang mungkar merupakan tugas kewajiban setiap muslim karena inilah umat memiliki gelar khiru ummah (umat yang paling baik).
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al Imran: 110).
Dalam ayat ini terkandung dua ma’na yaitu; sebaik-baik umat, kedua kekhususannya sehingga menjadi terbaik karena menegakkan perintah pada yang ma’ruf dan mencegah pada yang mungkar. Dengan adanya perintah inilah sehingga menjadikan umat ini memiliki ciri khas tersendiri dengan khoiru ummah.
Rosullah saw bersabda:
عن أبى سعيد الخذري رضي الله عنه قالــــ : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من راى منكم منكرا فليغيره بيده وإن لم يستطع فبلسانه وإن لم يستطع فبقلبه, وذالك أضعف الإيما ن "رواه مسلم"
Barangsiapa di antara kamu melihat satu kemungkran, maka hendaklah ia mencegahnya dengan kekuasaannya, dan jika ia tidak sanggup, maka dengan mulutnya, dan jika (dengan demikian) ia juga tidak sanggup, maka dengan hatinya. Dan yang terakhir ini adalah merupakan selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).
Shalih Ibnu Utsaimin mengatakan mengenai hadits diatas, bahwa Nabi saw telah memberikan perintah kepada segenap ummat untuk mengubah kemungkaran apabila ia menyaksikkannya. Kemudian beliau melanjutkan, dalam hal ini ada tiga tahapan: yaitu mengajak, memerintah, dan mengubah. Mengajak untuk berbuat yang ma’ruf, memerintah untuk berbuat yang ma’ruf maupun menjauhi yang mungkar, kemudian mengubah sebuah perbuatan dari yang mungkar kepada yang ma’ruf baik dengan perkataan maupun perbuatan.
Selemah-lemah iman adalah pengingkaran dengan hati terhadap kemungkaran. Hal itu merupakan tingkatan terendah karena tidak adanya sikap perbuatan yang mencoba untuk merubah kemungkaran tersebut ataupun tidak adanya kemampuan untuk amar ma’ruf nahi mungkar.
Dalam surah Al ‘Ashr Allah berfirman:
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al ‘Ashr: 1-3)
Dalam kaidah ushul mennyebutkan “dasar dalam perintah adalah wajib kecuali ada dalil yang menyelisihinya”. Darisini telah jelas merupakan sebuah kewajiban untuk saling mengisi, menasehati, mengajak diantara sesama muslim dan memang merupakan posisi kerugian ketika mereka meninggalkan perintah tersebut.
Da’wah dalam arti amar ma’ruf nahi mungkar adalah syarat mutlak bagi kesempurnaan dan keselamatan hidup masyarakat, ini adalah kewajiban sebagai bawaan fithrah manusia selaku makhluk ijtima’I dan kewajiban yang ditegaskan oleh Risalah. Kitabullah dan sunnah Rosulullah saw.
C. Problematika da’wah Fenomena Tahdzir Irja’i dan Khowariji
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa setiap muslim ada beban tanggung jawab untuk da’wah yang sehingga dien ini selalu terjaga akan kemurnian ajarannya dan dengan inilah yang menjadikan umat ini memiliki kemulyaan. Seiring dengan perjalanan da’wah saat ini dan bahkan sejak terdahulu tidak akan lepas dalam apa yang disampaikan antara da’i yang satu dengan da’i lain mengandung perbedaan pendapat. Memang sebagai landasan dalil dalam menghukumi suatu hal adalah obyektif namun dalam mengintrepetasikan dalil tersebut terhadap sebuah objek permasalahan yang ia hukumi akan muncul keberagaman, sebagai dasar inilah sehingga sebuah perbedaan muncul dan bahkan berlanjut menimbulkan perpecahan yang tajam.
Diantara fenomena perbedaan dan bahkan menimbulkan perpecahan antara sesama pengusung da’wah ala manhaj salaf saat ini, adalah munculnya pengklaim khwarij terhadap mereka yang terlalu tegas dalam da’wah dan sebagai reaksinya muncul pengklaim murji’ah terhadap mereka yang da’wahnya terlalu lembek. Apabila melihat dari segi materi-materi yang mereka sampaikan hampir rata-rata mereka sama dalam mengambil rujukan dari buku-buku ulama timur tengah seperti syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, bahkan ulama kontemporer syaikh bin Baz syaikh Utsaimin, Syaikh Albani dll, namun ketika telah sampai pada bab apakah fulan kafir atau tidak ketika telah melakukan perbuatan kekufuran mereka terpecah bahkan saling menyalahkan dan bagi yang terlalu keras di capnya sebagai khawarij sedangkan bagi yang terlalu lembek di capnya sebagai murji’ah sebagia reaksi dari pengecap khawarij.
Pemikiran yang di cap khawarij karena dianggap terlalu tegas dalam mengfonis, terlalu berani dalam mengkafirkan seseoarang secara terang-terangan bahkan disiarkan secara umum baik lewat halaqah-halaqah, pengajian-pengajian maupun lewat media mereka bahwa si fulan telah kafir karena telah melakukan perbuatan kekufuran demikian, demikian dan demikian, sehingga bagi mereka yang sependapat akan mengikuti mengkafirkan fulan tersebut sedangkan yang tidak muncul klaim sebaliknya bahkan menganggap mereka adalah khawarij yang mengkafirkan kaum muslimin secara serampangan.
Sedangkan yang telalu lembek pemikiran mereka kebalikan dari model pemikiran khowarij yang di atas, mereka terlalu toleran dan terlalu rumit dalam hal apakah fulan kafir atau tidak ketika telah melakukan perbuatan yang menyebabkan kafir, biasanya dalih mereka adalah apakah dia menghalalkan perbuatan tersebut (menghalalkan perbuatan kekufuran/ kema’shiyatan) atau tidak, atau dia mengingkari perbuatan tersebut (mengingkari perintah wajib) atau tidak, selama hati mereka ada keimanan maka ia tetap beriman ataupun selama tidak menghalalkan/membolehkan perbuatan kekufuran tersebut maka ia tetap dianggap sebagai seorang muslim meskipun ia telah melakukan perbuatan kekufuran yang tidak sekali.
Sikap tawassuth (pertengahan) dalam da’wah
Sebuah perdaan pasti akan muncul meskipun fakta adalah objektif namun ketika telah ditafsirkan oleh berbagai orang pasti akan tidak sepi dari berbagai perbedaan. Begitu juga dalam hal apakah fulan telah kafir atau tidak pasti banyak menimbulkan perbedaan pendapat, dalam konteks cara penanggulannya saja para imam fiqih berbeda pendapat apalagi yang menghukumi adalah seseorang yang tidak memiliki prioritas dalam hal tersebut, maka berakhir pada ujung saling mengfonis antara khowarij dan murji’ah.
Islam telah memiliki berbagai aturan-aturan dan konsekuensi hukum terhadap orang yang murtad, para ahli fiqih imam madzhab telah menjelaskan secara detail dalam masalah ini di berbagai kitabnya, dan merekapun sepakat bahwa yang menegakkan hukum antar fulan kafir atau tidak adalah mahkamah syar’iyyah sehingga dengan itu dapat ditindak lanjuti entah dibunuh atau diasingkan. Adanya mahkamah syar’iyyah sebagai penegak hukum terhadap kasus murtad adalah sebagai penjaga kelestarian dan persatuan umat, Ibnu Qoyyim menilai sebagai kebijakan politik untuk memelihara umat dan pranata kenegaraannya yang Islami, menjaga dari hambatan-hambatan dan musuh-musuh Islam yang senantiasa menuduh Islam. Dari sinilah sehingga prioritas fonis bahwa fulan telah keluar dari islam adalah mahkamah syar’iyyah yang kemudian ada konsekuensi untuk ditindak lanjuti bukan perindifidu yang tidak bisa bahkan sulit untuk menyatukan sebuah asumsi, disisilain tidak bisanya untuk menegakkan konsekuensi atas apa yang dituduhkannya itu.
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ ) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Dari Ibnu Abbas RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa berganti Agama, bunuhlah ia." (HR. Bukhari).
Sebenarnya apabila di kembalikan ke pendapat para imam madzhab tidak ada masalah dalam menyikapi masalah seperti ini, akan tetapi yang menyebabkan permasalahan adalah kurang fahamnya seseorang dalam hal fonis kafir terhadap sesama muslim yang kemudian diumumkan secara serampangan entah lewat pengajian halaqah media dan lain sebagainya. oleh karena itu adanya mahkamah syar’iyyah sebagai penegak keadilan, penjaga kelestarian, keamamanan dan kedamaiaan diantara sesama muslimin.
Allah berfirman:
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. Al-Maidah: 8).
Rosulullah saw bersabda:
حديث عن ابن عمر قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذكفر الرجل أخاه, فقد باء بها أحدهما. (رواه مسلم)
Hadis riwayat Ibnu Umar ra., ia berkata: Nabi saw. bersabda: Apabila seseorang mengafirkan temannya, maka ucapan (yang mengafirkan) itu benar-benar kembali kepada salah seorang di antara keduanya (yang mengatakan atau yang dikatakan). (HR. Muslim)
Ayat diatas menjelaskan tuntutan untuk berlaku tawasuth (pertengahan) adil sedangkan hadits menjelaskan untuk berhati-hati dalam mengfonis, tidak gegabah dan serampangan sehingga terhindari dari kata-katanya yang berbalik ke dirinya sendiri bisa jadi dirinya kafir atau orang yang dituduhnya kafir. Dari dua dalil diatas dapat difahami bahwa fonis hukum murtad tetap berlaku bagi mereka yang telah melanggar penyebab kekufuran namun disisilain konsekuensi dari fonis tidak dapat dijalankan karena tidak adanya mahkamah syar’iyyah, maka itu menurut penulis fonis itu cukup berlaku bagi dirinya sendiri dan tidak menyebar luaskan secara umum antisipasi terjadinya fitnah sehingga muncul klaim antara faham khowarij dan murji’ah.
Wallahu a’lam.

agama dan konflik sosial

Pendahuluan
Pada dasarnya agama tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, kerena bagaimanapun juga manusia membutuhkan kontrol diri dan pengawasan agama. Hadirnya agama sangat berperan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara empiris dengan adanya keterbatasan kemampuan dan ketidak pastian dari manusia.
Sesuai fungsinya, mengambil penjelasan Hendro Puspito, bahwa fungsi agama itu adalah edukatif, penyelamatan, pengawasan sosial, memupuk persaudaraan, dan transformative. Oleh karena itu, jika fungsi agama berjalan dengan baik, masyarakat dapat merasa aman, stabil, sejahtera dan sebagainya.
Namun, karena agama yang dianut oleh manusia didunia ini tidak hanya satu, maka tentu saja klaim kebenaran masing-masing agama yang dianut oleh setiap orang akan muncul ke permukaan. Jika klaim itu dihadapkan pada penganut agama lain, maka sudah dapat diduga akan terjadi benturan anatar penganut agama, yang masing-masing memiliki klaim kebenaran.
Maka , makalah yang ada saat ini mencoba untuk mengungkap bagaimana seseorang mengeksperesikan keberagamaannya di hadapan penganut agama lain dengan tanpa ada benturan, atau paling tidak dapat meminimalisir terjadinya konflik antar umat beragama.
Pengertian Agama
Menurut Hendrapuspito, agama adalah suatu jenis sistem social yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakan unutk mencapai keselamatan bagai mereka dan masyarakat luas umumnya.
Definisi lain disebutkan dalam kamus sosiologi, bahwa agama dapat diartikan keadaan tiga macan definisi, di antaranya:
1. Kepercayaan pada hal-hal yang spiritual.
2. Perangkat kepercayaan dan praktik-praktik spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri.
3. Idiologi mengenahi hal-hal yang bersifat supranatural.
Sementara itu, Thomas F. O`die mengatakan bahwa agama adalah pendayagunaan sarana supra-empiris untuk maksud-maksud non-empiris atau supra-empiris.
Dari definisi diatas, dapat tergambar jelas bahwa agama merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran penganutnya ketika terjadi hal-hal yang berada diluar jangkauan dan kemampuannya karena sifatnya yang supra-natural sehingga diharapkan dapat mengatasi-masalah yang non-empiris.
Pengaruh agama terhadapa masyarakat
Untuk mengetahui pengaruh agama terhadap masyarakat, ada tiga aspek yang perlu untuk dipelajari, yaitu kebudayaan, sistem social dan aspek kepribadian. Ketiga aspek itu merupakan fenomena sosial yang kompleks dan terpadu yang pengaruhnya dapat diamati pada perilaku manusia.
Berkaitan dengan hal ini, Elizabeth K. Notthingham mengelompokkan tipe manusia dalam kehidupan masyarakat dan hubungannya dengan agama. Yaitu segabai berikut;
1. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral. Tipe masyarakt ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Tidak ada lembaga lain yang relative berkembang selain lembaga keluarga, agama menjadi fokus utama bagi pengintegrasi dan persatuan masyarakat dari masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian, kemungkinan agama memasukkan pengaruh yang sakral keadalam sistem nilai-nilai masyarakat sangat mutlak.
2. Masyarakat praindustri yang sedang berkembang. Keadaan masyarakat tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi dari pada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam masyarakat ini. Tetapi, pada saat yang sama, lingkungan yang sakral dan yang sekuler sedikit banyak masih dapat dibedakan. Misalnya, pada fase-fase kehidupan sosial masih diisi oleh upacara-upacara keagamaan, tetapi pada sisi kehidupan lain, pada aktivitas sehari-hari, agama kurang mendukung, agama hanya mendukung adat istiadat saja. Salah satu akibatnya, anggota masyarakat semakin terbiasa dengan penggunaan metode empiris yang berdasarkan penalaran dan efisien dalam menanggapi masalah-masalah kemanusaian sehingga lingkungan yang bersifat sekular semkin meluasa.
Agama sebagai faktor konflik
Sepintas, tema diatas kelihatannya sangat paradox. Disatu sisi agama dipandang (oleh pemeluknya) sebagai sumber moral dan nilai, sementara di sisi lain dianggap sebagai sumber konflik. Sebagaiman yang disinyalir oleh Jhon Efendi, menurutnya, agama pada suatu waktu memproklamirkan kedamiaan, jalan menuju keslamatan, persatuan, dan persaudaraan, namun pada waktu yang lain menampakkan dirinya sebagai suatu yang dianggap garang dan menyebar konflik, bahkan takjarang, seperti dicatat dalam sejarah, menimbulkan peperangan.
Dalam wacana, teori konflik beranggapan bahwa masyarakat adalah suatu keadaan konflik yang berkesinambungan diantara kelompok dan kelas serta kecendrungan kearah perselisihan, ketegangan, dan perubahan. Yang harus digaris bawahi adalah “ masyarakat “. Karena, masyarakat menjadi lahan untuk menumbuhkan dan memyubutkan konflik. Diantara faktor yang mempengaruhi kearah seperti itu bisa bermacam-macam, diantaranya, factor ekonomi, politik, social, bahkan agama. Oleh karena itu, pada sisi ini agama bisa saja menjadi salah satu faktor timbulnya konflik yang ada di masyarakat.
Apabila merujuk pada al-quran, banyak indikasi yang menjelaskan adanya factor konflik yang ada di masyarakat. Secara tegas al-quran menyebutkan
        ••       
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).(Ar-Rum: 41).
Ayat ini bisa dijadikan argumentasi bahwa penyebar konflik sesungguhnya adalah manusia. Oleh karena itu, dalam pembicaraan ini akan melihat dari segi penganut agamanya, bukan agamanya, untuk mengidentivikasi timbulnya konflik.
Penganut agama adalah orang yang meyakini dan meyakini suatu ajaran agama. Keyakinannya itu akan melahirkan bentuk perbuatan baik maupun buruk, yang dalam term islam disebut “amal perbuatan”. Dari mana mereka meyakini bahwa suatu perbuatan itu baik dan buruk. Keyakinan ini dimiliki dari rangkaian proses memahami dan mempelajari ajaran agama itu. Oleh karena itu, setiap penganut akan berbeda dan memiliki kadar intepretasi yang beragam dalam memahami ajaran agamanya, sesuai dengan kemampuanya msing-masing.
Akibat perbedaan pemahaman itu saja, cikal bakal konflik tidak bisa dihindarkan. Dengan demikian, pada sisi ini agama memiliki potensi yang dapkat melahitkan berbagai bentuk konflik (intoleransi). Paling tidak, konflik seperti ini adalah konflok intra- agama atau disebut juga konflilk antar madzhab, yang diakibatkan oleh perbedaan pemaham terhadap ajaran agama.
Terjadinya dilema dalam pelembagaan agama
Disfungsi agama, kekaburan hubungan antara agama dengan masyarakat, dan peranan agama dalam melahirkan serta memperbesar terjadinya konflilk social secara keseluruhan dipersulit oleh kenyataan bahwa kelembagaan agama itu sendiri menghasilkan seperangkat dilema yang secara structural inheren, dan itupun dapat dianggap sebagai cirri khas perkembangan organisasi kagamaan. Kemudian disisi lain, ia menjadi penyebab kendala internal dan fungsional berasal. Diantara paradox pelembagaan itu adalah sebagai berikut;
1. Dilema motivasi campuran
Dalam periode pertama atau periode kharismatik perkembangan agama pada mula didirikan, biasanya terlihat dalam hubungan antar pemimpin kharismatik dengan para pengikutnya, motivasi partisipan yang aktif cenderung ditandai oleh cara befikir yang sangat sepihak. Gerakan keagamaan memang memuaskan kompleks kebutuhan pengikutnya tetapi kebutuhan demikian dipusatkan pada nilai-nilai keagamaan sebab ia dikemukakan dan disatukan oleh pemimpin kharismatik. Tetapi, dengan pelembagaan diperkenankan inovasi penting.
Pelembagaan menyangkut perangkat setatus dan peran yang setabil, dalam arti fungsi, yang mencakup adanya hak dan kewajiban. Di sana muncul struktur jabatan yang melibatkan seperangkat ganjaran yang berjenjang berupa pristise, kesempatan hidup, dan kompensasi materi.
2. Dilema simbolis; objektivitas versus alienasi
Kita telah melihat bahwa reprensetasi pengalaman agama merupakan masalah penting bagi kehidupan kelompok keagamaan, dan ia merupkan suatu performans simbolis. Sebagai suatu penyatuan makna-makna agama dan sebagai sarana pelaksanaan sikap beragama, maka simbol ini tunduk kepada kendala dan dilema yang terkandung dalam agama itu sendiri. Utnuk mempertahankan orisinil, dengan hubungan supra empirisnya dengan yang suci dan yang tertinggi ia haris memperoleh pengungkapan dalam bentuk simbolis yang dengan sendirinya bersifat emprirs dan profane yang perulangannya menjadi lazim dan bersifat sehari-hari.
Oleh karena itu, pengunaan simbol untuk memungkinkan pemahaman akan hal yang suci, dapat merupakan langkah pertama dalam rutinitas.
3. Dilema tertib administrasi; elaborasi dan alienasi
Rutinitas kharisma sering melahirkan organisasi formal dengan struktur birokatis. Jabatan-jabatan baru cenderung berkembang dengan muculnya fungsi-fungsi baru. Kemudian preseden-preseden yang telah digariskan melahirkan trasformsi-transformasi yang ada. Bentuk luar yang umum dari struktur pemerintahan cederung menceminkan masalah dan fungsi sebagai tanggapan terhadap strutur yang berkembang.
4. Dilema pembatasan; batasan konkrit versus substitusi serifikat iman
Untuk mempengaruhi kehidupan manusia maka ajaran agama yang sebenarnya harus dinyatakan sedemikian rupa sehingga relevan dengan kegiatan sehari-sehari dan meyangkut manusia. Kemudian utnuk melestarikan isi ajaran, ia harus bebas dari penafsiran yang akan mengubahnya sedemikian rupa sehingga menimbulkan konflik dengan etos intinya.
Kebutuhan ini merupakan cirri khas ajaran agama dan etika yang tersirat didalam agama. Kedua kebutuhan ini menunjukkan tekanan yang kuatakan perlunya batasan.
Proses definisi dan konkritisasi ini sekaligus merupakan langkah reallisasi pesan agama dan etika-secara relative menunjukkan bahwa hal ini relafan dengan lingkungan kehidupan baru kelompok keagamaan itu- dan karena itu melibatkan resiko sebab membuat apa yang pada awalnya merupkan panggilan yang luar biasa [ekstra or dinary] menjadi hal biasa.
Yang erat hubungannya dengan dilemma pembatasan, dilema objektifitas dan aliensi simbol-simbol ini adalah benuk degenerasi simbol-simbol, yang oleh seorang sarjana agama tekenal yaitu Merciea Eliadie, dinamakan proses infentiliasi dalam proses kekanak-kanakan simbol sering diambil dengan cara yang kekanak-kanakan, terlalu konkrit, dan terpisah dari sistem dimana ia merupakan bagian.


5. Dilema kekuasaan; konfrensi versus paksaan
Pengamalan agama membutuhkan suatu panggilan, karena itu menggerakkan disposisi batin orang yang terpanggil secara sukarela mengikuti pemimpin agama, keyakinan agama dan gerakan agama. Ini melibatkan komitmen individual yang dapat disebut sebagai “pembuatan iman”. Tetapi iman sebagai komitmen terhadap supra-empiris mengandung kemungkinan adanya kesangsian bila organisasi keagamaan dilembagakan dan disesuaikan dengan masyarakat dan nilai-nilainya, maka iman akan ditopang oleh pendapat umum dan ide-ide penghormatan yang ada. Atau lebih tepatnya, iman ditopang oleh pembenaran sukarela dan oleh persetujuan dan dukungan dari penguasa yang sah. Hasilnya adalah suatu kejelasan yang sempurna yang cenderung berkembang dan menunjukkan isi iman pada umumnya. Isi yng terkandung dalam iman itu cenderung diterima tanpa dipersoalkan, dan karena itu dia terbuka bagi pertanyaan bila timbul masalah.
Jadi, keyakinan agama-sebagaimana Troelts mengistilahkan-tidak saja dibuat lebih tebuka bagi pertanyaan, tetapi secara fungsional juga lebih signifikan bagi masyarakat sekuler. Iman dan kesangsian tetap erat berhubungan, dan dibawah “sifat yang terbukti dengan sendirinya” yang terlembaga itu, struktur dasar agama dan legitimasi masyarakat tetap terbuka untuk pertanyaan yakni pertanyaan yang menjaukan yang diperoleh secara suka rela, tetai hanya merupakan kepercayaan yang hanya jelas diluarny saja.
Kelima dilema diatas inheren dalam proses rutinisasi kharisma keagamaan. Semua merupakan karakteristik setruktural proses pelembagaan dan dengan demikian merupakan sumber penting bagi ketegangan dan pertikaian. Dilem-dilema tersebut telah banyak menyebabkan protes yang puncaknya dalam sekte puriutanisme dan sekte kiri, usaha-usaha persatuan reformasi untuk kembali kegereja semula, penolakan scolatisisme, dengan formulasi filosofis yang kompleks, dan penulakan hukum kaco dengan definisi yang terinci, semua itu menunjukkan arti penting dilema-dilema ini dalam sejarah agama barat.
Wallahu a’lam bishowab

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme