agama dan konflik sosial

Pendahuluan
Pada dasarnya agama tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, kerena bagaimanapun juga manusia membutuhkan kontrol diri dan pengawasan agama. Hadirnya agama sangat berperan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara empiris dengan adanya keterbatasan kemampuan dan ketidak pastian dari manusia.
Sesuai fungsinya, mengambil penjelasan Hendro Puspito, bahwa fungsi agama itu adalah edukatif, penyelamatan, pengawasan sosial, memupuk persaudaraan, dan transformative. Oleh karena itu, jika fungsi agama berjalan dengan baik, masyarakat dapat merasa aman, stabil, sejahtera dan sebagainya.
Namun, karena agama yang dianut oleh manusia didunia ini tidak hanya satu, maka tentu saja klaim kebenaran masing-masing agama yang dianut oleh setiap orang akan muncul ke permukaan. Jika klaim itu dihadapkan pada penganut agama lain, maka sudah dapat diduga akan terjadi benturan anatar penganut agama, yang masing-masing memiliki klaim kebenaran.
Maka , makalah yang ada saat ini mencoba untuk mengungkap bagaimana seseorang mengeksperesikan keberagamaannya di hadapan penganut agama lain dengan tanpa ada benturan, atau paling tidak dapat meminimalisir terjadinya konflik antar umat beragama.
Pengertian Agama
Menurut Hendrapuspito, agama adalah suatu jenis sistem social yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakan unutk mencapai keselamatan bagai mereka dan masyarakat luas umumnya.
Definisi lain disebutkan dalam kamus sosiologi, bahwa agama dapat diartikan keadaan tiga macan definisi, di antaranya:
1. Kepercayaan pada hal-hal yang spiritual.
2. Perangkat kepercayaan dan praktik-praktik spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri.
3. Idiologi mengenahi hal-hal yang bersifat supranatural.
Sementara itu, Thomas F. O`die mengatakan bahwa agama adalah pendayagunaan sarana supra-empiris untuk maksud-maksud non-empiris atau supra-empiris.
Dari definisi diatas, dapat tergambar jelas bahwa agama merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran penganutnya ketika terjadi hal-hal yang berada diluar jangkauan dan kemampuannya karena sifatnya yang supra-natural sehingga diharapkan dapat mengatasi-masalah yang non-empiris.
Pengaruh agama terhadapa masyarakat
Untuk mengetahui pengaruh agama terhadap masyarakat, ada tiga aspek yang perlu untuk dipelajari, yaitu kebudayaan, sistem social dan aspek kepribadian. Ketiga aspek itu merupakan fenomena sosial yang kompleks dan terpadu yang pengaruhnya dapat diamati pada perilaku manusia.
Berkaitan dengan hal ini, Elizabeth K. Notthingham mengelompokkan tipe manusia dalam kehidupan masyarakat dan hubungannya dengan agama. Yaitu segabai berikut;
1. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral. Tipe masyarakt ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Tidak ada lembaga lain yang relative berkembang selain lembaga keluarga, agama menjadi fokus utama bagi pengintegrasi dan persatuan masyarakat dari masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian, kemungkinan agama memasukkan pengaruh yang sakral keadalam sistem nilai-nilai masyarakat sangat mutlak.
2. Masyarakat praindustri yang sedang berkembang. Keadaan masyarakat tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi dari pada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam masyarakat ini. Tetapi, pada saat yang sama, lingkungan yang sakral dan yang sekuler sedikit banyak masih dapat dibedakan. Misalnya, pada fase-fase kehidupan sosial masih diisi oleh upacara-upacara keagamaan, tetapi pada sisi kehidupan lain, pada aktivitas sehari-hari, agama kurang mendukung, agama hanya mendukung adat istiadat saja. Salah satu akibatnya, anggota masyarakat semakin terbiasa dengan penggunaan metode empiris yang berdasarkan penalaran dan efisien dalam menanggapi masalah-masalah kemanusaian sehingga lingkungan yang bersifat sekular semkin meluasa.
Agama sebagai faktor konflik
Sepintas, tema diatas kelihatannya sangat paradox. Disatu sisi agama dipandang (oleh pemeluknya) sebagai sumber moral dan nilai, sementara di sisi lain dianggap sebagai sumber konflik. Sebagaiman yang disinyalir oleh Jhon Efendi, menurutnya, agama pada suatu waktu memproklamirkan kedamiaan, jalan menuju keslamatan, persatuan, dan persaudaraan, namun pada waktu yang lain menampakkan dirinya sebagai suatu yang dianggap garang dan menyebar konflik, bahkan takjarang, seperti dicatat dalam sejarah, menimbulkan peperangan.
Dalam wacana, teori konflik beranggapan bahwa masyarakat adalah suatu keadaan konflik yang berkesinambungan diantara kelompok dan kelas serta kecendrungan kearah perselisihan, ketegangan, dan perubahan. Yang harus digaris bawahi adalah “ masyarakat “. Karena, masyarakat menjadi lahan untuk menumbuhkan dan memyubutkan konflik. Diantara faktor yang mempengaruhi kearah seperti itu bisa bermacam-macam, diantaranya, factor ekonomi, politik, social, bahkan agama. Oleh karena itu, pada sisi ini agama bisa saja menjadi salah satu faktor timbulnya konflik yang ada di masyarakat.
Apabila merujuk pada al-quran, banyak indikasi yang menjelaskan adanya factor konflik yang ada di masyarakat. Secara tegas al-quran menyebutkan
        ••       
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).(Ar-Rum: 41).
Ayat ini bisa dijadikan argumentasi bahwa penyebar konflik sesungguhnya adalah manusia. Oleh karena itu, dalam pembicaraan ini akan melihat dari segi penganut agamanya, bukan agamanya, untuk mengidentivikasi timbulnya konflik.
Penganut agama adalah orang yang meyakini dan meyakini suatu ajaran agama. Keyakinannya itu akan melahirkan bentuk perbuatan baik maupun buruk, yang dalam term islam disebut “amal perbuatan”. Dari mana mereka meyakini bahwa suatu perbuatan itu baik dan buruk. Keyakinan ini dimiliki dari rangkaian proses memahami dan mempelajari ajaran agama itu. Oleh karena itu, setiap penganut akan berbeda dan memiliki kadar intepretasi yang beragam dalam memahami ajaran agamanya, sesuai dengan kemampuanya msing-masing.
Akibat perbedaan pemahaman itu saja, cikal bakal konflik tidak bisa dihindarkan. Dengan demikian, pada sisi ini agama memiliki potensi yang dapkat melahitkan berbagai bentuk konflik (intoleransi). Paling tidak, konflik seperti ini adalah konflok intra- agama atau disebut juga konflilk antar madzhab, yang diakibatkan oleh perbedaan pemaham terhadap ajaran agama.
Terjadinya dilema dalam pelembagaan agama
Disfungsi agama, kekaburan hubungan antara agama dengan masyarakat, dan peranan agama dalam melahirkan serta memperbesar terjadinya konflilk social secara keseluruhan dipersulit oleh kenyataan bahwa kelembagaan agama itu sendiri menghasilkan seperangkat dilema yang secara structural inheren, dan itupun dapat dianggap sebagai cirri khas perkembangan organisasi kagamaan. Kemudian disisi lain, ia menjadi penyebab kendala internal dan fungsional berasal. Diantara paradox pelembagaan itu adalah sebagai berikut;
1. Dilema motivasi campuran
Dalam periode pertama atau periode kharismatik perkembangan agama pada mula didirikan, biasanya terlihat dalam hubungan antar pemimpin kharismatik dengan para pengikutnya, motivasi partisipan yang aktif cenderung ditandai oleh cara befikir yang sangat sepihak. Gerakan keagamaan memang memuaskan kompleks kebutuhan pengikutnya tetapi kebutuhan demikian dipusatkan pada nilai-nilai keagamaan sebab ia dikemukakan dan disatukan oleh pemimpin kharismatik. Tetapi, dengan pelembagaan diperkenankan inovasi penting.
Pelembagaan menyangkut perangkat setatus dan peran yang setabil, dalam arti fungsi, yang mencakup adanya hak dan kewajiban. Di sana muncul struktur jabatan yang melibatkan seperangkat ganjaran yang berjenjang berupa pristise, kesempatan hidup, dan kompensasi materi.
2. Dilema simbolis; objektivitas versus alienasi
Kita telah melihat bahwa reprensetasi pengalaman agama merupakan masalah penting bagi kehidupan kelompok keagamaan, dan ia merupkan suatu performans simbolis. Sebagai suatu penyatuan makna-makna agama dan sebagai sarana pelaksanaan sikap beragama, maka simbol ini tunduk kepada kendala dan dilema yang terkandung dalam agama itu sendiri. Utnuk mempertahankan orisinil, dengan hubungan supra empirisnya dengan yang suci dan yang tertinggi ia haris memperoleh pengungkapan dalam bentuk simbolis yang dengan sendirinya bersifat emprirs dan profane yang perulangannya menjadi lazim dan bersifat sehari-hari.
Oleh karena itu, pengunaan simbol untuk memungkinkan pemahaman akan hal yang suci, dapat merupakan langkah pertama dalam rutinitas.
3. Dilema tertib administrasi; elaborasi dan alienasi
Rutinitas kharisma sering melahirkan organisasi formal dengan struktur birokatis. Jabatan-jabatan baru cenderung berkembang dengan muculnya fungsi-fungsi baru. Kemudian preseden-preseden yang telah digariskan melahirkan trasformsi-transformasi yang ada. Bentuk luar yang umum dari struktur pemerintahan cederung menceminkan masalah dan fungsi sebagai tanggapan terhadap strutur yang berkembang.
4. Dilema pembatasan; batasan konkrit versus substitusi serifikat iman
Untuk mempengaruhi kehidupan manusia maka ajaran agama yang sebenarnya harus dinyatakan sedemikian rupa sehingga relevan dengan kegiatan sehari-sehari dan meyangkut manusia. Kemudian utnuk melestarikan isi ajaran, ia harus bebas dari penafsiran yang akan mengubahnya sedemikian rupa sehingga menimbulkan konflik dengan etos intinya.
Kebutuhan ini merupakan cirri khas ajaran agama dan etika yang tersirat didalam agama. Kedua kebutuhan ini menunjukkan tekanan yang kuatakan perlunya batasan.
Proses definisi dan konkritisasi ini sekaligus merupakan langkah reallisasi pesan agama dan etika-secara relative menunjukkan bahwa hal ini relafan dengan lingkungan kehidupan baru kelompok keagamaan itu- dan karena itu melibatkan resiko sebab membuat apa yang pada awalnya merupkan panggilan yang luar biasa [ekstra or dinary] menjadi hal biasa.
Yang erat hubungannya dengan dilemma pembatasan, dilema objektifitas dan aliensi simbol-simbol ini adalah benuk degenerasi simbol-simbol, yang oleh seorang sarjana agama tekenal yaitu Merciea Eliadie, dinamakan proses infentiliasi dalam proses kekanak-kanakan simbol sering diambil dengan cara yang kekanak-kanakan, terlalu konkrit, dan terpisah dari sistem dimana ia merupakan bagian.


5. Dilema kekuasaan; konfrensi versus paksaan
Pengamalan agama membutuhkan suatu panggilan, karena itu menggerakkan disposisi batin orang yang terpanggil secara sukarela mengikuti pemimpin agama, keyakinan agama dan gerakan agama. Ini melibatkan komitmen individual yang dapat disebut sebagai “pembuatan iman”. Tetapi iman sebagai komitmen terhadap supra-empiris mengandung kemungkinan adanya kesangsian bila organisasi keagamaan dilembagakan dan disesuaikan dengan masyarakat dan nilai-nilainya, maka iman akan ditopang oleh pendapat umum dan ide-ide penghormatan yang ada. Atau lebih tepatnya, iman ditopang oleh pembenaran sukarela dan oleh persetujuan dan dukungan dari penguasa yang sah. Hasilnya adalah suatu kejelasan yang sempurna yang cenderung berkembang dan menunjukkan isi iman pada umumnya. Isi yng terkandung dalam iman itu cenderung diterima tanpa dipersoalkan, dan karena itu dia terbuka bagi pertanyaan bila timbul masalah.
Jadi, keyakinan agama-sebagaimana Troelts mengistilahkan-tidak saja dibuat lebih tebuka bagi pertanyaan, tetapi secara fungsional juga lebih signifikan bagi masyarakat sekuler. Iman dan kesangsian tetap erat berhubungan, dan dibawah “sifat yang terbukti dengan sendirinya” yang terlembaga itu, struktur dasar agama dan legitimasi masyarakat tetap terbuka untuk pertanyaan yakni pertanyaan yang menjaukan yang diperoleh secara suka rela, tetai hanya merupakan kepercayaan yang hanya jelas diluarny saja.
Kelima dilema diatas inheren dalam proses rutinisasi kharisma keagamaan. Semua merupakan karakteristik setruktural proses pelembagaan dan dengan demikian merupakan sumber penting bagi ketegangan dan pertikaian. Dilem-dilema tersebut telah banyak menyebabkan protes yang puncaknya dalam sekte puriutanisme dan sekte kiri, usaha-usaha persatuan reformasi untuk kembali kegereja semula, penolakan scolatisisme, dengan formulasi filosofis yang kompleks, dan penulakan hukum kaco dengan definisi yang terinci, semua itu menunjukkan arti penting dilema-dilema ini dalam sejarah agama barat.
Wallahu a’lam bishowab

0 Response to "agama dan konflik sosial"

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme