Perihal Membangun Jembatan

Oleh : M. Tamimudin
PENDAHULUAN
Budaya berasal dari budhayah bentuk jamak dari budhi bahasa sangsekerta yang artinya budi dan akal atau hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Sedangkan dalam bahasa inggris budaya disebut dengan culture yang berasal dari bahasa latin colore, yaitu mengolah atau mengerjakan.
Sedangkan budaya yang di maksud adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Dari ini semua bagaimana jika kebudayaan itu bertentangan dengan agama semisal pola-pola perilaku yang ajaran agama tidak mensyariatkannya, atau organisasi sosial yang pengadaannya untuk melawan arus agama dan lain-lain.
Berikut ini adalah ringkasan paper materi kuliyah komunikasi lintas budaya dan agama dengan judul Perihal membangun Jembatan yang ditulis oleh Wilbur Schramm, isi tulisan menyangkut masalah bagaimana membangun komunikasi dengan orang yang berbeda kebudayaan ? semisal orang Amerika yang berbeda budaya bergaul dengan orang Jepang yang suka merukukkan badan tatkala memberi hormat pada sesamanya dan lain-lain, maka dari sinilah penulis akan mencoba mengoreksi sesuai dengan tinjauan islam sebatas pengetahuan penulis, dengan bentuk tulisan yang terpotong demi keringkasan tulisan. Dalam tulisan tersebut adakalnya benar dan adakalanya salah ditimbang sesuai dengan batasan-batasan peraturan agama, namun apabila terdapat kekurangan-kekurangan dan kesalahan dalam pengoreksian diperkenankan bagi pembaca untuk memberi masukan-masukan atau menambahkan demi terwujudnya tulisan yang lebih baik.
PEMBAHASAN
Wilbur Schramm berkata, Pada awalnya kita cukup bijak, tetapi makin banyak kita belajar makin kita dapatkan bahwa kita perlu belajar lagi.
Demikianlah keberadaan orang yang menuntut ilmu semakin dalam apa yang di tuntut semakin timbul rasa penasaran apa yang dipelajari, sehingga tidak merasakan terbatasnya waktu untuk belajar karena telah merasakan ni’matnya menuntut ilmu. Ayat maupun hadits banyak menyebutkan akan utamanya orang yang berilmu diantaranya Allah berfirman:
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Almujadilah: 11).
"Apakah sama orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang tidak berilmu." (Az Zumar: 9)
Nabi saw bersabda: keutamaan orang yang berilmu dengan orang dengan ahli ibadah adalah seperti keutamaanku atas orang yang paling rendah di antara kalian. (HR. Tirmidzi). Dll.
Wilbur Schramm berkata, ketakutan akan satelilt komunikasi yang menyebar ke negara Dunia Ketiga pada permulaan tahun 1970-an. Satelit yang dapat menyampaikan siaran telvisi langsung kerumah barangkali lima belas tahunan lagi. Masih ada waktu untuk merencanakan dan bekerja sama agar instrumen itu digunakan untuk kebaikan semua orang. Tetapi dapat dimaklumi jika negara-negara Dunia ketiga mencemaskan efek hiburan murah dan iklan yang merayu yang akan dicurahkan pada bangsa mereka oleh kapitalis besar pemilik satelit. Inilah saat ideal untuk membuat isu politik dan mencubit ekor kekuasaan-kekuasaan itu, terutama kekuasaan yang paling besar.
Benarlah apa yang Wilbur Schramm katakan pada paragraf selanjutnya:
Mengendalikan komunikasi berarti mengendalikan apa yang bakal terjadi pada budaya mereka.
Dari sini nampak jelas akan pengaruh satelit komunikasi pertelevisian begitu sangat besar lebih-lebih apabila yang mengendalikan adalah para kapitalis dengan menonjolkan tayangan-tayangan berbahaya yang tidak mendidik dan vulgar, hal ini dapat mempengaruhi masa depan generasi anak-anak keluarga muslim apabila tidak dilakukan penyaringan/sensor, akibatnya rata-rata genarasi anak-anak keluarga muslim meniru apa yang ada dalam acara tersebut sehingga tindak criminal, pelecehan seksual merebak dimana-mana dan semuanya mengaku dari keluarga muslim, maka rusaklah jati dirinya sebagai muslim yang memiliki kemuliaan.
Selanjutnya beliau berkata: Jadi, proporsi pertukaran budaya lebih banyak pada jembatan media massa dari pada kontak personal.
Memang demikian semisal media elektronik televisi dari media ini penonton hanya bisa menerima secara monoton dan tidak bisa memilah-memilih acara kecuali penonton tersebut yang menyesuaikan waktu dengan acara yang akan dilaksanakan oleh oprator televise, lain dengan media cetak semisal majalah dan Koran yang seseorang bisa memilah-milah isi kajian dan berita yang disajikan sesui dengan kebutuhannya sehingga dampak kerusakan meskipun ada bisa diminimalisir sekecil mungkin bukankah Allah berfirman:
“janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi” (albaqarah: 11)
           •   •   
)المائدة: 2)
"dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya".
Wilbur Schramm berkata: Penyair Bengali yang cemerlang Rabindranath tagore, yang meninggal tahun 1941, adalah teladan hidup dari dorongan menuju universalitas. Ia mempelajari pemikiran tetangganya yang muslim dan kristen, begitu pula Hinduismenya sendiri.
Setiap agama memliki batasan pun agama yang haq yaitu Islam, agama lain boleh dipelajari apabila dipertujukan untuk mengetahui letak kebatilan dan kelemahan-kelemahan agama lain, namun apabila dipelajari untuk keuniversalitas agama mendorong ke pemahaman pluralisme agama sehingga kesimpulannya semua agama sama menuju tuhan yang sama dengan jalan dan cara ibadah yang berbeda-beda, dalam mengistilahkan tuhan setiap masing-masing orang berbeda-beda maka orang Kristen mengistilahkan nama tuhannya dengan Yesus orang Yahudi dengan Yahweh orang islam dengan Allah dan lain sebagainya, beginilah kerancauan pemahaman apabila setiap pendefinian makna Tuhan disamakan, Tuhan yang benar-benar haq disamakan dengan tuhan-tuhan bikinan akal manusia. Jelas alquran adalah wahyu yang diturunkan kepada Muhammad saw sebagai utusan Tuhan untuk memperingati manusia dari hal pemikiran seperti ini. Oleh karena itu jauh-jauh hari Tuhan yang berhaq diibadahid dari segala Tuhan yang bathil mengingatkan.
1. “ Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, 2. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. 3. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. 4. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, 5. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. 6. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (Al-kafirun:1- 6).
Menurut Wilbur Schramm Syarat-syarat individu untuk berkomunikasi secara efektif antar budaya.
Pertama, menghormati anggota budaya lain sebagai manusia, misalnya orang Jepang dan Amerika, yang sedang mengobrol, pertama adalah manusia, dengan banyak sifat dan keinginan yang sama. Komunikasi berhasil, jika komunikasi yang terjadi diantara mereka haruslah komunikasi pribadi pada pribadi, bukan hanya Jepang dan Amerika.
Komunikasi dalam keseharian seperti jual beli, bantu membantu dalam hal-hal keduniaan dan lain-lain yang tidak mengarah pada mendukung keagamaan orang kafir, islam memperbolehkannya. Menghormati golongan lain diperbolehkan dalam islam namun setandar penghormatan seperti apa yang diperbolehkan? islam telah membatasinya selama tidak ada singgungan dengan keagamaan dan ritual-ritual golongan tersebut maka tetap diperbolehkan dalilnya Rosulullah saw memberlakukan hak yang sama dengan kaum muslim terhadap orang-orang kafir dzimmi (orang-orang kafir yang tinggal di negara islam) atau orang-orang kafir yang tidak memerangi orang-orang beriman.
Kedua, harus menghormati kebudayaan lain apa adanya, bukan sebagaimana yang kita kehendaki. Sebuah budaya adalah cara hidup yang telah dijalankan orang sehingga mereka dapat hidup menurut kehendak mereka. Suatu budaya yang aneh menurut pandangan kita; tentu tidak aneh bagi orang yang hidup dalam budaya itu. Tidak ada kebudayaan yang tidak baik, yang semuanya perlu kita hormati.
Menghormati kebudayaan lain haruslah ditimbang sesuai dengan batasan-batasan agama, apabila dalam kebudayaan tersebut tidak bertentangan dengan garis-garis batas agama tentu hal tersebut diperbolehkan, tetapi bila bertentangan tentu bukanlah suatu hal yang aib apabila melawan arus dengan sebuah kebudayaan tersebut.
Ketiga, adalah menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak. Dapatkah kita belajar menahan diri untuk tidak merasa lucu atau jengkel sampai kita memahami mengapa orang dari budaya lain bertindak seperti itu? Pertama, dugaan biasanya salah. Berkali-kali saya terkejut pada pertemuan yang pertama dengan oran India yang mendatangi saya dengan garang dan tampaknya galak. Pada sisi lain, sopan santun orang cina asli sering mengecoh saya pada pertemuan yang pertama dan menyebabkan saya menduga tidak da perbedaan di antara kami. Dengan perkenalan yang cukup lama, orang India tersebut menjadi teman baik saya dan saya menyadari bahwa lebih banyak ketiak sepakatan antara saya dengan orang Cina itu daripada apa yang saya duga sebelumnya.
Begitu juga dengan hal yang ketiga yang intinya apabila tidak ada singgungan dalam keagamaan maka hal tersebut tetap diperbolehkan. Hal ini berdasarkan pada sebuah kaidah ushuliyah yang berbunyi,
الأصـل فــي الأشيـــاء الإباحــــة
“Pada dasarnya segala hal apa saja diperbolehkan”
Dari sinilah selama tidak berlawanan dengan hal agama, dalam bentuk apapun tetap boleh meskipun dari pandangan kita hal itu berlawanan dengan norma kebiasaan masyarakat kita.

SEPENGGAL PELIPUTAN DI MASJID ALISRA’ Kec. Johar Baru kel. Johar Baru Jl. Percetakan Negara II JAKPUS

A. PENDAHULUAN

Allah berfirman :

Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan Balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (QS. Annur: 36-38).

Berikut ini adalah tulisan hasil penelitian dari masjid alisra’ johar baru yang pernah penulis singgahi beberapa saat yang pada dasarnya adalah untuk pengabdian kepada masjid membantu kepengurusan dalam mengadakan kegiatan-kegiatan masjid dalam rangka melengkapi sertifikasi untuk dapat mengikuti ujian skripsi. Akan tetapi ada lain beberapa hal sehingga bentuk pengabdian kepada masjid menjadi gagal yang akhirnya menyebabkan penulis tereliminasi dari masjid tersebut, sebelum akhirnya penulis sempat mewancarai beberapa pengurus dan beberapa jam’ah masjid tersebut.

B. SEGI GEOGRAFIS MASJID ALISRA’

Isara’ mi’raj merupakan sebuah perjalanan Rosulullah saw pada suatu malam dari masjid alharam ke masjid alaqsha sebagaimana yang telah di abadikan oleh Allah swt dalam surah alisra’ ayat pertama, pada masa inilah diwajibkannya shalat lima waktu.[1]

Pada tahun 1990 disebuah kec. Johar baru kel. Johar baru kota madya Jakarta pusat sebuah masjid yang konon waktu peresmian pembangunannya sesuai tanggalnya dengan waktu rosulullah saw melakukan perjalanan malam hari dari masjid alharam ke masjid alaqsha, maka dari sinilah di nisbatkan penamaan ke masjid sehingga menjadi masjid alisra’.[2]

Kec. Johar baru terdiri dari empat kelurahan yaitu galur, kampung rawa, tanah tinggi, dan yang terakhir kel. Johar baru. Kel. Johar baru baru sendiri Sebelah selatan dibatasi kec. Cempaka putih kel. Rawa sari, sebelah timur dibatasi kec. Cempaka putih kel. Kelurahan cempaka putih barat, sedangkan sebelah utara dibatasi dengan kel. Kampung rawa dan kel. Galur, sebelah barat dibatasi kel. Tanah tinggi kec. Johar baru.

Secara geografis masjid alisra’ terletak begitu setrategis karena berada ditengah-tengah keramaian pertokoan kota Johar Baru, posisi masjid berada di sebrang jalan raya Percetakan Negara II, sebelah kirinya berdekatan dengan pasar Johar Baru dan sebelah kanan dekat samping klinik praktek dokter dan sebelah ujung berdekatan dengan kantor kelurahan Johar Baru. Sehingga masyarakat, pegawai baik pertokoan, sewasta maupun pemerintah bila telah datang shalat dzuhur dan ashar saling berdatangan untuk mendirikan shalat berjama’ah.

C. SEJARAH BERDIRINYA MASJID ALISRA’

Pada tahun 1978 telah terjadi pengrobohan sebuah gereja di kec. johar baru jl. Percetakan Negara II, hal ini berakibat dari kemarahan warga muslim terhadap orang-orang Kristen yang membangun gereja di kawasan perkampungan muslim.[3]

Dari kejadian itu kemudian orang-orang keristen berinisiatif akan membeli tanah milik PT. pembangunan jaya yang sekarang menjadi masjid alisra, maka sekelompok pemuda[4] masyarakat tergerak untuk berjuang mempertahankan tanah tersebut supaya jangan sampai terbeli oleh orang-orang keristen yang di takutkan akan membangun gereja di atas tanah tesebut. Meskipun dengan modal yang kalah jauh dengan kelompok salibis kristus, namun dengan ijin Allah direktur PT. pembangunan jaya diganti yang sebelumnya Kristen menjadi muslim, sehingga dengan ini memudahkan sekelompok pemuda tersebut untuk membebaskan tanah milik PT. Pembangunan Jaya yang kemudian menjadi masjid alisra seperti sekarang ini.

Kemudian setelah dilobinya tanah tersebut dan direktur PT. Pembangunan Jaya merestui, maka ditancapkanlah sebuah plat papan nama dengan ide dr. Idris Caniago yang bertuliskan “insyaAllah akan dibangun masjid alira’,[5] namun setelah kunjung beberapa minggu bulan berganti bulan tidak ada kemajaun dalam pembangunan dan pembebasan tanah secara keseluruhan meskipun telah terkonsep bentuk kepengurusan dan pengumpulan dana. Dengan keadaan yang tidak ada kemajuan seperti inilah kemudian seorang pemuda yang bernama bapak Amirudin harahap selaku sekretaris panitia pembangunan terfikir dan akhirnya ketika melihat keaktivan seorang bendahara kampung percetakan Negara II yaitu bapak Abdurrozak Ab dalam kerja dan pengumpulan dana untuk kegiatan kampong tersebut ia tergerak untuk merekut pemuda tersebut sebagai anggota salah satu kepanitiaan. Setelah berdiskusi dan pengangkatan pengurus kepanaitaan pembangunan masjid yang baru ini ia berinisiatif dan mengusulkan untuk dirombak lagi secara total kepengurusan panitia pembangunan masjid mulai dari ketua sekretaris bendahara dan lain sebagainya, Ia mengusulkan sebagai ketua adalah bapak Usman samsudin yang ketika itu baliau aktiv hanya sebagai pemodal besar kegiatan kampong baik perayaan 17 agustus dan lain-lain, berkat kesepakatan atas apa yang diajukan terbentuklah kepengurusan pembangunan masjid yang baru sehingga dari sini mulailah dari pembebasan secara total dan pembangunan masjid dapat terlaksana dengan baik.[6]

Luas tanah 669m2 dengan dana pembebasan sebagian infaq dari bapak H. Usman Samsudin sebesar Rp.3000.000 dan dana setengahnya infaq dari PT. Pembangunan Jaya sendiri. Ketika itu PT. meminta dana pembebasan sebesar RP. 7000.000, namun karena akan dibangun masjid maka diinfaqkanlah setengahnya. Pada pertengahan tahun 1989 pembangunan masjid selesai dan masjid aktif digunakan untuk sholat. Kemudian setelah itu dirubahlah kepanitiaan pengurus pembanguan masjid menjadi kepengurusan kegiatan masjid.[7]

Untuk kepengurusan kegiatan masjid setelah jadi pada tahun itu hingga tahun 2000 seterukturnya sebagai berikut

Penasehat :H. Efendi Yusuf. S.H

:H. Usman Samsudin

Ketua I :Drs. H. Usman Kartawijaya

Ketua II : Ir. Abdullatif Rawa

Sekretaris I : Amirudin Harahap

Sekretaris II : Mukhotib. S.E

Bendahara I : Abdurrozak AB

Bendahara II : Edi Ilyas

Seksi usaha : H. Abdul Khair

D. SUSUNAN KEPENGURUSAN MASJID ALISRA’

Seiring dengan waktu yang terus berjalan kepengurusan masjid alisra’ mengalami banyak perubahan diantaranya ada yang karena pindah tempat tinggal ke sukabumi Karena jauh dari masjid bahkan sampai ada yang menghadap Robnya azawalla, maka berikut ini adalah susunan kepengurus masjid alisra dari sejak tahun 2002 hingga tahun 2010 yang diketuai oleh dr. idris caniago spb[8], ketika sebelum beliau diangkat menjadi ketua masjid pada tahun itu beliau sibuk dengan pekerjaannya sebagai dokter spesialis bedah di berbagai rumah sakit, namun ketika beliau sudah mulai renggang waktu dalam pekerjaannya sebagai dokter beliau mengabdikan dirinya sebagai ketua masjid yang aktiv selain itu juga beliau menyediakan waktu bagi dirinya untuk mengisi kajian kesehatan di masjid ahad pagi sebelum kajian tafsir jalalain oleh ust. Kamal yusuf.

Ketua : dr. idris caniago. spb

Sekretaris : Mursalim. M.S.I

Penasehat : Bpk. Sabarudin. S.E

Bendahara : Abdurrozaq A.b.

E. PROGAM KEGIATAN MASJID ALISRA’

a. Progam yang telah dilaksanakan

Progam-progam mingguan

1. Pengajian malam selasa

2. Pengajian malam jum’at

3. Pengajian ahad pagi

b. Progam bulanan dan tahunan

1. Santunan anak yatim satu tahun dua kali

2. Pengadaan peryaan-perayaan hari besar ummat islam seperti mauludan, perayaan isra’ mi’raj, dan lain-lain.

c. Pendukung dan kendala

Dalam kepengurusan masjid terdapat dua model pemikiran

a. Model pemikiran orang tua sebagai pendiri masjid, golongan ini fleksibel dalam pengadaan kegiatan kemakmuran masjid karena dalam anggota struktur kepengurusan panitia pembanguan masjid di awal pengurus terdiri dari beberapa model pemikiran ada yang condong ke nahdliyyah, muhammadiyyah, dan persis. Akan tetapi dalam tatacara ibadah yang dilaksanakan menggunakan konsep nahdliyyah, hal ini dikarenakan kepanitiaan dahulu menyerahkan kegiatan masjid sepenuhnya kepada rekannya yang condong ke konsep nahdliyyah.

b. Model pemikiran anak-anak muda yang di tunjuk sebagai pengurus bahkan yang mengaku-ngaku sebagai pengurus, golongan ini fleksibel dan ada yang condong kolot namun kekolotannya mengalahkan yang fleksibel dikarenakan ketajamaman lidahnya dalam memojokan golongan fleksibel

F. PROGAM YANG DIPANDANGA MENONJOL

Progam yang dipandang menonjol:

a. Beberapa pengajian mingguan

b. Santunan anak Yatim setengah tahun sekali

G. PERMASALAHAN-PERMASALAN INTREN

Berikut ini akan kami utarakan beberapa permasalahan intern masjid berdasarkan peninjaun kami selama kurang lebih satu bulan:

a. Tidak adanya komunikasi antara pengurus yang terprogam dalam pertemuan bulanan rutin

b. Tidak adanya evaluasi progam kegiatan masjid maupun kepengurusan masjid dalam pertemuan rutin

c. Tidak adanya keterbukaan pandangan antara kepengurusan mau diarahkan bagaimana kegiatan masjid yang akan dilaksanakan.

d. Tidak adanya setruktur kepengurusan masjid secara tertulis sehingga muncul adanya sebagian golongan muda yang mengaku-ngaku sebagai pengurus masjid.

e. Tidak adanya bagian dari kepengurusan masjid yang mengurusi tentang da’wah dalam masjid sehingga setiap pengurus merasa berhak untuk membuat dan menghentikan sebuah kegiatan.

f. Tidak adanya upaya untuk menyatukan pandangan, menyatukan target tujuan dalam kegiatan masjid, baik golongan muda maupun golongan tua.

g. Tidak adanya kependukungan untuk melanjutkan kembali kegiatan pengajian anak-anak/ taman pendidikan alquran.

H. ANALISA DAN SOLUSI

Masjid alisra’ merupakan salah satu masjid yang didirikan oleh beberapa pemuda yang memiliki latar belakang pendidikan keagamaan yang berbeda, sebagian ada yang menganut ajaran Nahdliyah, ada menganut Muhammadiyah, bahkan ada yang menganut Persatuan Islam, dari sejak awal pembangunan hingga terbentuknya kepengurusan masjid kemudian menunaikan kegiatan-kegiatan masjid tidak ada satupun dari mereka yang menonjolkan pahamnya sehingga dalam pendirian kepengurusan dan diarahkan kemana masjid ini nyaris tidak ada masalah sedikitpun, hal ini karena saling memahaminya sesama pendiri masjid, dalam artian tidak banyak memberikan komentar antar sesama pengurus atas sebuah kegiatan yang diadakan di masjid. Salah satu kasus misalnya bapak Abdurrojak Ab mencritakan, ketika iqomah telah dikumandangkan untuk melaksanakan shalat subuh para jamaahpun berdiri demikian juga para pengurus dan pendiri masjid, tapi siapa yang menjadi imam shalat subuh para pendiri dan pengurus saling segan satu sama lain karena dalam tatacara pelaksanaan shalat subuh masing-masing berbeda sebagian ada yang harus menggunakan qunut dan sebagiannya sebaliknya, akhirnya bendahara masjid menunjuk bapak Amirudin Harahap selaku pengikut paham PERSIS (persatuan islam) untuk maju sebagai imam shalat subuh akan tetapi memang karena merasa segan akhirnya beliaupun tidak mau palah menunjuk kepada orang yang menunjuknya, mau tidak mau dan tidak ada lagi yang bersedia menjadi imam maka, majulah bapak Abdurojak kemudian tegaklah shalat subuh dan selesai sebagaimana orang NU melaksanakannya. Kasus lain bapak Abdurrojak Ab menceritakan kembali, suatu ketika beliau melaksanakan perayaan isra’miraj Nabi sallallahu alaihi wa sallam, maka beliaupun mengundang semua pengurus salah satunya adalah bapak Amirudin Harahap, ketika hendak dilaksanakannya pembacaaan syair-syair maulidan dengan kitab simtu dlirarnya beliau berkata kepada bapak Abudurojak “maaf pak, mungkin saya gak bisa mengikuti acara pembacaan maulidan ini, tapi nanti kalau penceramahnya udah maju baru saya akan masuk”. jawab beliau , oh ya gak pa pa.

Inilah beberapa contoh kasus yang pernah diceritakan kepada penulis dari bapak Abdurrojak Ab selaku bendahara masjid alisra’ yang tidak pernah tergantikan dari sejak awal pembangunan masjid hingga sekarang 2010.

Berdasarkan beberapa orang yang pernah penulis jumpai baik dari ketua masjid sendiri yaitu dr. Idris Chaniago dan beberapa jama’ah lama lainnya, mereka mengutarakan bahwa latar belakang beliau sebagai orang NU cenderung kolot, pernah seorang jama’ah masjid menceritakan, suatu ketika ia melihat posisi beduk masjid kurang pas dipandang dan juga tidak terlindung dari sinar matahari, maka tanpa sepengetahuan bendahara masjid orang tersebut memindahkannya ketempat yang lebih baik dan aman, akan tetapi apa yang terjadi ketika bendahara masjid tahu?, beliau berkata kepada salah seorang jama’ah sambil dengan muka merah, “ eh, siapa yang mindain beduk?! jawabnya, “si Ishmadi[9] pak haji” beliau berkata kembali, “coba panggil!” ketika saya datang saya dieem aja, beliau berkata dengan nada tinggi: “ beduk ini saya datangkan jau-jauh dari jepara!, kamu ini enak aja mindain-mindain gak ngasih tahu!, sudah bagus-bagus disini kok palah dipindain?!. Saya hanya nunduk-nunduk aja.. ya, pak haji, ya, pak haji. setelah itu langsung saya pindain dengan bantuan beberapa jama’ah. Jadi saya terkenal di mata pak haji orang yang pernah mindahin beduk, sambil senyum-senyum sinis beliau bercerita kepada penulis seakan-akan ada yang tidak ia sukai dari penulis Allahu a’lam.

Kisah tentang kasus kekolotan bapak Abdurrojak yang pernah terjadi selain ini pernah beliau kisahkan sendiri kepada penulis yang ceritanya sama persis dengan apa yang pernah diceritakan oleh Ishmadi cuma beda redaksi dan beliau tidak secara terang-terangan mengutarakan hakikat jati dirinya yang sebenarnya. Suatu ketika seorang jama’ah masjid yang beda paham dengan beliau meminta ijin untuk mengadakan pengajian yang mereka sebut liqo’an, pengisinya dari ustadz yang sefaham dengan kelompok pengajian tersebut tiap ahad siang, waktu seminggu dua minggu, sebulan dua bulan berjalan lancar dan tidak terjadi masalah apapun hingga waktu sudah menunjukkan kurang lebih enambulanan, berdasarkan hasil kisah yang penulis dengar dari Ishmadi bahwa dirinyalah yang telah melaporkan kerekannya yang bernama Mahfudz/ Ust. Mahfudz[10] yang dia isukan bisa jadi dari pengajian itu masjid akan berubahan menjadi masjid yang tadinya NU menjadi tidak NU, dari sisnilah kemudian Mahfudz/ Ust. Mahfudz melaporkan ke mertuanya bapak. Abdurrojak Ab setelah itu pengajian bubar dan tidak ada lagi hingga kini.

Dari kisah-kisah dan pengamatan kejadian-kejadian yang pernah penulis dengar dan alami sendiri ketika tinggal di masjid tersebut, meskipun tidak menampakkan secara nyata masjid didominasi secara kuat oleh bendahara meskipun disana terdapat penasihat dan ketua masjid yang memiliki hak untuk memutuskan sebuah solusi permasalahan, akan tetapi ketua dan penasihat tidak bisa berbuat banyak apabila bertentangan dengan kemahuan bendara masjid dan setiap hendak memutuskan sebuah keputusan mesti harus konsultasi dahulu dengan bendahara masjid jika telah disetujui, maka permasalahan dapat berjalan meskipun nantinya terdapat masalah-masalah yang tidak dapat di sangka karena mungkin ada sesuatu yang tidak disukai dan di sembunyikan oleh bendahara masjid, sehingga beliau mengisukan-mengisukan sesuatu tentang kegiatan tersebut.

Hal demikian terjadi karena orang yang tersisa dari sejak panitia pembangunan hingga berbentuk kepengurusan kegiatan masjid hanya beliau sendiri, terlebih dana pemasukan masjid menurut pengakuan salah seorang jama’ah rata-rata adalah hasil dari usaha-usaha beliau ketika sejak menjadi bendahara panitia pembangunan hingga perenofasian masjid menjadi lebih bagus lagi.

Maka dalam hal ini untuk solusi bagaimana idealnya masjid itu, kita kembalikan kepada sejarah Rosulullah saw dalam mendirikan masjid dan bagaimana akibatnya jika masjid itu dibangun yang isinya hanya untuk membuat perpecahan ummat islam. Dalam sebuah sejarah pernah suatu ketika Rosullah saw hendak siap-siap berangkat ke tabuk, datang beberapa orang yang membangun masjid dliror di sebuah tempat, kemudian mereka berkata: wahai Rosullah sesungguhnya kami telah membangun masjid baru yang bisa dipergunakan untuk berbagai kegiatan kaum muslimin baik ketika dinginnnya malam atau turunnya hujan dan kami sangat bahagia sekali apa bila anda dapat sholat membersamai kami ditempat kami, kemudian Rosullah saw menjawab; saya sedang bersiap-siap untuk bersafar nanti sekembalinya insyaallah kita akan sholat bersama kalian di tempat kalian, maka tatkala kembali Allah menurunkan ayat

Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. mereka Sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." dan Allah menjadi saksi bahwa Sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. Maka Apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan Dia ke dalam neraka Jahannam. dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang- orang yang zalim. ( QS. Attawbah; 107-109). Hingga akhir kisah, maka Rosullah saw mengutus Malik bin Dahsyan, Ma’an bin Ady, dan saudaranya ‘Ashim bin ‘Ady beliau berkata, pergilah kemasjid yang penduduknya dzalim ini bakar dan hancurkan masjid itu.[11]

Dibangunnya masjid tidaklain hanyalah untuk mempersatukan ummat berlandaskan taqwa kepada Allah, bukan sebaliknya sehingga dikatakan masjid dliror yang ingin memecah belah ummat, tidak ada kemanfaatan dan keutamaan untuk kegiatan dan shalat berjamaah dimasjid wallahu a’lam bisshowab.

I. PENUTUP

Sebagai penutup dari tulisan ini Allah berfirman:

Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah mengucapan. "Kami mendengar, dan Kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Almu’minun: 51).

WALLAHU A’LAM BISSOWAB



[1] Lihat safiurrohman almubarak furi, sirah nabawiyah.

[2] Wawancara dengan dr. idris chaniago spb, selaku ketua masjid

[3] Wawancara dengan bpk. Abdurrozak Ab, selaku sekretaris masjid

[4] Kelompok pemuda tersebut adalah, dr. idris caniago, bpk. Amirudin harap, bpk Edi Ilyas, drs, H. Usman Kartawijaya, Ir. Abdullathif Rawa yang sebian diantara mereka adalah pegawai pemerintahan daerah.

[5] Opcit. Wawancara dr. Idris Chaniago

[6] Opcit. Wawan cara bpk. Abdurrozak AB

[7] Ibid.

[8] Spb. Spesialis bedah

[9] Menurut pengakuan belliau dirinya adalah ketua remaja sekitar masjid alisra’, jadi segala kegiatan yang akan diadakan telebih TPA/MDA itu bergantung dengan dirinya jika tidak ada kesepakatan maka tidak akan terlaksana, beliau menjelaskan.

[10] Salah seorang ustadz. yang pernah terkena fitnah dengan seorang mahasiswi asal Depok, untuk saat ini beliau tinggal dikampungnya sebelum itu beliau pernah tinggal sebagai pengajar ngaji alquran sekaligus menjabat sebagai marbot masjid alisra’. Berdasarkan beberapa kisah dari jama’ah masjid latar belakang pendidikan beliau sama dengan apa yang dianut oleh bendahara masjid, keterangan selanjutnya menyebutkan beliau ini adalah menantunya bapak Abdurrojak Ab.

[11] Abudorrohman bin Abi Bakar bin Muhammad Assuyuthi, labaab annuqul fi asbab annuzul, daar ihya alulum , bairut. Maktabah syamilla. Hal. 115

merusak pendidikan agama

“Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural”. Itulah judul sebuah buku yang ditulis seorang dosen di salah satu Perguruan Tinggi Islam di Jawa Tengah. Dalam kata pengantarnya untuk buku ini, Direktur Pasca Sarjana UIN Jakarta, Prof. Dr. Azyumardi Azra, menyatakan, bahwa buku ini memiliki arti penting bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan agama. Azra mendefinisikan ‘Pendidikan Multukultural’ sebagai “pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.”
Buku ini penting untuk kita cermati, karena menyuguhkan satu wacana tentang Pendidikan Agama di Indonesia. Ajaibnya, buku ini bukan memberikan suatu pemahaman tentang Pendidikan Agama yang benar, tetapi justru menyuguhkan suatu pemahaman yang merusak aqidah Islam itu sendiri. Maka, seharusnya, seorang profesor kenamaan tidak sampai terjebak untuk memuji-muji buku seperti ini. Apalagi, si profesor juga dikenal sebagai pimpinan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Mungkin Sang Profesor tidak membaca isinya dengan teliti, atau mungkin memang dia sendiri setuju dengan isi buku tersebut.
Sebenarnya, istilah yang digunakan, yakni ”Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural”, itu sendiri sudah bermasalah. Istilah itu mengesankan, seolah-olah selama ini, umat Islam tidak mengembangkan pendidikan agama yang menghormati keragaman budaya masyarakat. Bahkan, seperti pernah kita bahas dalam sejumlah CAP, istilah dan makna ”multikulturalisme” itu sendiri – seperti dijelaskan oleh para pendukungnya -- sudah sangat bermasalah.
Tetapi, kita sangat memahami, karena paham ini sedang menjadi proyek global – yang tentu saja ada kucuran dana yang sangat besar – maka wacana multikulturalisme terus dijejalkan kepada kaum Muslim Indonesia. Badan Litbang Departemen Agama telah meluncurkan program pembinaan dai-dai multikultural dan menyebarkan buku-buku tentang multikulturalisme. Para santri dan kyai di berbagai pesantren, khususnya di Jawa Barat, juga telah dijejali paham ini oleh agen liberal, seperti International Center for Islam and Pluralism (ICIP). Berbagai seminar tentang multikulturalisme pun digelar, seolah-olah, inilah agenda penting yang harus ditelan umat Islam Indonesia saat ini. Seolah-olah, umat Islam selama ini tidak memahami keragaman budaya dan agama. Seolah-olah umat Islam selama ini tidak toleran dengan agama lain, dan sebagainya.
Kita pernah membahas apa makna ”Multikulturalisme” dalam pandangan Litbang Departemen Agama, yang merupakan hasil penelitian Litbang Depag tentang “Pemahaman Nilai-nilai Multikultural Para Da’i”. Dijelaskan, bahwa selain dapat menjadi faktor integrasi, agama juga dapat menjadi faktor dis-integrasi. Konflik antar-umat beragama dapat terjadi karena -- salah satunya -- disebabkan oleh adanya pemahaman keberagamaan masyarakat yang masih eksklusif. Pemahaman ini dapat membentuk pribadi yang antipati terhadap pemeluk agama lain. Pribadi yang selalu merasa hanya agama dan alirannya saja yang paling benar sedangkan agama dan aliran lainnya adalah salah dan dianggap sesat.
Jadi, dalam wacana multikulturalisme, klaim kebenaran (truth claim) terhadap agamanya sendiri dipandang sebagai sesuatu yang menjadi sebab terjadinya konflik antar-umat beragama. Logika selanjutnya adalah, agar umat beragama menghilangkan klaim kebenaran terhadap agamanya sendiri. Umat beragama diajak untuk mengakui kebenaran semua agama. Minimal, jangan menyalahkan agama dan kepercayaan di luar agamanya.
Tentu saja kesimpulan semacam ini sangat keliru. Sebab, setiap orang yang beragama – jika masih berpegang pada keyakinan agamanya – pasti meyakini kebenaran agamanya sendiri. Jika dia meyakini kebenaran semua agama, maka dia sejatinya sudah tidak beragama. Kita ingat jargon populer kaum Pluralis Agama, yakni ”All paths lead to the same summit” (semua jalan akan menuju puncak yang sama). Maksudnya, agama apa pun sebenarnya menuju pada Tuhan yang sama. Tokoh pluralis lain menggambarkan agama-agama laksana jari-jari sebuah roda yang semua menuju pada poros yang sama. Poros itulah, menurut dia, adalah Tuhan.
Semangat humanisme sekular tanpa diskriminasi agama inilah yang juga ditekankan dalam buku ”Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural”. Misinya adalah membangun persaudaraan universal tanpa membedakan lagi faktor agama, sebagaimana misi yang digelorakan oleh Free Masonry, Theosofie, dan sebagainya. Misalnya ditulis dalam buku ini:
”Sebagai risalah profetik, Islam pada intinya adalah seruan pada semua umat manusia, termasuk mereka para pengikut agama-agama, menuju satu cita-cita bersama kesatuan kemanusiaan (unity of mankind) tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan, dan agama... Pesan kesatuan ini secara tegas disinyalir al-Qur’an: ”Katakanlah: Wahai semua penganut agama (dan kebudayaan)! Bergegaslah menuju dialog dan perjumpaan multikultural (kalimatun sawa’) antara kami dan kami... Dengan demikian, kalimatun sawa’ bukan hanya mengakui pluralitas kehidupan. Ia adalah sebentuk manifesto dan gerakan yang mendorong kemajemukan (plurality) dan keragaman (diversity) sebagai prinsip inti kehidupan dan mengukuhkan pandangan bahwa semua kelompok multikultural diperlakukan setara (equality) dan sama martabatnya (dignity).” (hal. 45-46).

Bagi yang memahami tafsir al-Quran, pemaknaan terhadap QS 3:64 tentang kalimatun sawa’ semacam itu tentulah dan ngawur. Sebab, ayat itu sendiri sangat jelas maknanya, yakni perintah kepada Nabi Muhammad saw agar mengajak kaum Ahlul Kitab untuk kembali kepada ajaran Tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Disebutkan dalam ayat tersebut (yang artinya):
”Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuat upun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain daripada Allah.”

Jadi, QS 3:64 tersebut jelas-jelas seruan kepada tauhid, bukan kepada paham Multikulturalisme. Meskipun maknanya sudah begitu jelas, tapi para pendukung paham Multikulturalisme ini dengan sangat berani dan gegabah membuat makna sendiri. Karena menjadikan paham Multikulturalisme sebagai dasar keimanannya, maka Tauhid pun dimaknai secara keliru dan diselewengkan maknanya. Padahal, Tauhid jelas berlawanan dengan syirik. Musuh utama Tauhid adalah syirik. Karena itu, Allah sangat murka dengan tindakan syirik, dan disebut sebagai ”kezaliman yang besar” (zhulmun ’azhimun). Karena itu, di dalam al-Quran disebutkan, bahwa Allah SWT sangat murka, karena dituduh mempunyai anak (QS 19:88-91).
Tetapi, dalam paham Multikulturalisme sebagaimana dijelaskan dalam buku ini, justru keyakinan akan kebenaran agamanya sendiri dilarang:
”Klaim berlebihan tentang kebenaran absolut kelompok keagamaan sendiri, dan
klaim kesesatan kelompok-kelompok agama lain, bisa membangkitkan sentimen permusuhan antarumat beragama dan antarkelompok. Penganjur-penganjur agama yang mempunyai corak pemahaman teologi dogmatis semacam itu dapat dengan mudah membawa dan memicu konflik dan kekerasan pada level pengikut. Dan anehnya semua mengatasnamakan Tuhan.” (hal. 48)

Tidak sulit untuk menyimpulkan, bahwa sadar atau tidak, misi buku Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural ini memang jelas-jelas merusak aqidah Islam. Agar memiliki daya rusak yang tinggi, maka digunakanlah salah satu aspek strategis, yakni ”Pendidikan Agama”. Daya rusak itu tentu saja semakin tinggi dengan dukungan profesor kenamaan yang memiliki kekuasaan tinggi di Perguruan Tinggi dan organisasi cendekiawan Muslim.
Buku Pendidikan Agama jenis ini memang jelas-jelas menyebarkan ’paham syirik’ Pluralisme Agama. Sebab, buku ini membenarkan semua paham syirik yang dengan tegas telah dikecam dalam al-Quran. Ditulis, misalnya: ”Jadi, semua agama adalah sebuah totalitas sosio-kultural yang merupakan jalan-jalan yang berbeda dalam mengalami dan hidup dalam relasi dengan Yang Ilahi. Yang menyebabkan perbedaan itu adalah bukan sesuatu yang mutlak sifatnya, namun hanya faktor-faktor partikular yang berhubungan dengan sejarah dan kebudayaan.” (hal. 50).
Lebih jauh dijabarkan bahwa: ”Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural mengandaikan suatu pengajaran efektif (effective teaching) dan belajar aktif (active learning) dengan memperhatikan keragaman agama-agama siswa. Dalam hal ini, proses mengajar lebih menekankan pada bagaimana mengajarkan tentang agama (teaching about religion), bukan mengajarkan agama (teaching of religion), karena yang pertama melibatkan pendekatan kesejarahan (historical approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach), sedangkan yang kedua melibatkan indoktrinasi dogmatik pada siswa sehingga secara praktis ia tidak memberikan sarana yang memadai untuk menentukan palajaran/kuliah mana yang dapat diterima dan mana yang perlu ditolak.” (hal. 102).
Untuk menjalankan misi Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural tersebut, maka juga diperlukan guru-guru yang memiliki pemahaman yang sama. ”Guru penganut suatu agama yang meyakini hanya ada satu kebenaran dan satu keselamatan, tertutup kemungkinan untuk menerima validitas kepercayaan-kepercayaan alternatif dan gagal mengajarkan toleransi dan saling menghargai antar sesama penganut agama.” (hal. 103).
Jadi, jelaslah, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural memang berusaha menggerus keyakinan ekslusif tiap agama, khususnya aqidah umat Islam. Untuk itu, penulis buku yang sudah sangat populer keliberalannya ini memang tidak takut-takut untuk merusak tafsir al-Quran, sebagaimana contoh terdahulu. Sejumlah ayat al-Quran lainnya juga dia tafsirkan dengan semena-mena.
Misalnya, dengan seenak perutnya sendiri, ia mengubah makna ”taqwa” dalam QS 49:13. Kaum Muslim memahami bahwa makna ’taqwa’ adalah taat kepada perintah Allah dan menjauhi larang-larangan-Nya. Tapi, oleh penganut paham multikulturalisme, istilah ’taqwa’ diartikan sebagai ”yang paling dapat memahami dan menghargai perbedaan pendapat.” Buku Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural ini menerjemahkan ayat tersebut sebagai berikut:
”Hai manusia, sesungguhnya Kami jadikan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian berkelompok-kelompok dan berbangsa-bangsa, agar kalian saling memahami dan saling menghargai. Sesungguhnya orang yang paling bermartabat di sisi Allah adalah mereka yang paling dapat memahami dan menghargai perbedaan di antara kamu.” (hal. 49).

Sebagai kaum Muslim, kita diperintahkan untuk sangat berhati-hati dalam menafsirkan al-Quran. Dalam acara ”Kolokium Nasional Pemikiran Islam” di Universitas Muhammadiyah Malang, 11-13 Februari 2008, tokoh Muhammadiyah Ustad Muammal Hamidy mengingatkan, bahwa para sahabat Rasulullah saw dan para ulama ahli tafsir senantiasa sangat berhati-hati menafsirkan al-Quran.
Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. dengan tawadhu’nya pernah menyatakan: “Bumi manakah yang akan menyanggaku dan langit manakah yang akan menaungiku jika aku mengatakan sesuatu yang tidak aku ketahui tentang Kitabullah?” Ibn Katsir juga mengutip hadits Rasulullah saw: “Barangsiapa yang mengucapkan (sesuatu) tentang al-Quran berdasarkan ra’yunya atau berdasarkan apa yang tidak dipahaminya, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka.” (HR Tirmidzi, Abu Daud, Nasa’i). Abu Ubaid pernah juga memperingatkan: “Hati-hatilah dalam penafsiran, sebab ia merupakan pemaparan tentang Allah.”
Mencermati isi buku ini tidaklah sulit bagi kita untuk menilai, bahwa buku Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural ini memang merusak aqidah Islam dan Tafsir al-Quran. Namun, Professor sekaliber Azyumardi Azra justru memberikan pujiannya. Penulis buku ini, menurut sang Professor UIN Jakarta ini,”telah membuka pintu masa depan kajian pendidikan agama bercorak multikulturalisme di Indonesia”.
Jadi, pintu untuk merusak Pendidikan Agama di Indonesia sudah resmi dibuka! Lalu, apa tindakan kita? (Depok, 7 Juli 2008).
http://adianhusaini.com/index.php?option=com_content&view=article&id=92:merusak-pendidikan-agama&catid=34:cap&Itemid=53

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme