FENOMENA DA’WAH DALAM TAHDZIR IRJA’ DAN KHOWARIJ
oleh: M. Tamimudin
A. Pengertian Da’wah
Da’wah "دعوة" adalah bahasa arab yang merupakan isim mashdar (kata asal) dari دعا - يدعو – دعوة yang memiliki arti; ajakan, seruan, undangan, atau panggilan.
Kata da’wah "دعوة" merupakan satu kegiatan mengajak, memanggil dan menyeru orang lain kepada apa yang diinginkan syari’at Islam secaara terencana, terukur dan terevaluasi. Da’wah harus dilaksanakan dengan teori. Perencanaan yang matang, penelitian lapangan atau literature, pengorganisasian dan manajemen da’wah yang baik, kemudian mengevaluasisi hasil dan melakukan perobohan cara untuk masa yang akan datang, bila ternyata cara-cara terdahulu mempunyai kelemahan atau kekeliruan.
Da’wah menurut pengertian tokoh Islam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: da’wah adalah mengajak mengimani Allah SWT, mengajak mengimani ajaran yang telah dibawa rosulNya dan mentaati perintah mereka. Inilah yang dimaksud da’wah ilallah.
Moh. Natsir menyebutkan, da’wah adalah usauha-usaha menyeru dan menyampaikan kepada perorangan manusia maupun seluruh umat, tentang konsepsi Islam, pandangan hidup dan tujuan hidup manusia didunia ini. Yang meliputi amar ma’ruf nahi mungkar, dengan berbagai cara dan media yang diperbolehkan bertujuan membimbing prikehidupan perorangan, rumah tangga, bermasyarakat dan bernegara.
B. Tanggung Jawab Da’wah
Setiap manusia membutuhkan da’wah karena ia merupakan kebutuhan pokok yang tidak jauh beda dengan kebutuhan pokok material lainnya, ia merupakan pengisi kehampaan berfikir, pengisi kekosongan jiwa, pengisi ilmu pengetahuan, pencegah kesalahan tindakan, penerang kebenaran dan pembeda antara yang hak dan yang bathil, oleh karena itu menyeru sebagai yang ma’ruf dan mencegah pada yang mungkar merupakan tugas kewajiban setiap muslim karena inilah umat memiliki gelar khiru ummah (umat yang paling baik).
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al Imran: 110).
Dalam ayat ini terkandung dua ma’na yaitu; sebaik-baik umat, kedua kekhususannya sehingga menjadi terbaik karena menegakkan perintah pada yang ma’ruf dan mencegah pada yang mungkar. Dengan adanya perintah inilah sehingga menjadikan umat ini memiliki ciri khas tersendiri dengan khoiru ummah.
Rosullah saw bersabda:
عن أبى سعيد الخذري رضي الله عنه قالــــ : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من راى منكم منكرا فليغيره بيده وإن لم يستطع فبلسانه وإن لم يستطع فبقلبه, وذالك أضعف الإيما ن "رواه مسلم"
Barangsiapa di antara kamu melihat satu kemungkran, maka hendaklah ia mencegahnya dengan kekuasaannya, dan jika ia tidak sanggup, maka dengan mulutnya, dan jika (dengan demikian) ia juga tidak sanggup, maka dengan hatinya. Dan yang terakhir ini adalah merupakan selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).
Shalih Ibnu Utsaimin mengatakan mengenai hadits diatas, bahwa Nabi saw telah memberikan perintah kepada segenap ummat untuk mengubah kemungkaran apabila ia menyaksikkannya. Kemudian beliau melanjutkan, dalam hal ini ada tiga tahapan: yaitu mengajak, memerintah, dan mengubah. Mengajak untuk berbuat yang ma’ruf, memerintah untuk berbuat yang ma’ruf maupun menjauhi yang mungkar, kemudian mengubah sebuah perbuatan dari yang mungkar kepada yang ma’ruf baik dengan perkataan maupun perbuatan.
Selemah-lemah iman adalah pengingkaran dengan hati terhadap kemungkaran. Hal itu merupakan tingkatan terendah karena tidak adanya sikap perbuatan yang mencoba untuk merubah kemungkaran tersebut ataupun tidak adanya kemampuan untuk amar ma’ruf nahi mungkar.
Dalam surah Al ‘Ashr Allah berfirman:
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al ‘Ashr: 1-3)
Dalam kaidah ushul mennyebutkan “dasar dalam perintah adalah wajib kecuali ada dalil yang menyelisihinya”. Darisini telah jelas merupakan sebuah kewajiban untuk saling mengisi, menasehati, mengajak diantara sesama muslim dan memang merupakan posisi kerugian ketika mereka meninggalkan perintah tersebut.
Da’wah dalam arti amar ma’ruf nahi mungkar adalah syarat mutlak bagi kesempurnaan dan keselamatan hidup masyarakat, ini adalah kewajiban sebagai bawaan fithrah manusia selaku makhluk ijtima’I dan kewajiban yang ditegaskan oleh Risalah. Kitabullah dan sunnah Rosulullah saw.
C. Problematika da’wah Fenomena Tahdzir Irja’i dan Khowariji
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa setiap muslim ada beban tanggung jawab untuk da’wah yang sehingga dien ini selalu terjaga akan kemurnian ajarannya dan dengan inilah yang menjadikan umat ini memiliki kemulyaan. Seiring dengan perjalanan da’wah saat ini dan bahkan sejak terdahulu tidak akan lepas dalam apa yang disampaikan antara da’i yang satu dengan da’i lain mengandung perbedaan pendapat. Memang sebagai landasan dalil dalam menghukumi suatu hal adalah obyektif namun dalam mengintrepetasikan dalil tersebut terhadap sebuah objek permasalahan yang ia hukumi akan muncul keberagaman, sebagai dasar inilah sehingga sebuah perbedaan muncul dan bahkan berlanjut menimbulkan perpecahan yang tajam.
Diantara fenomena perbedaan dan bahkan menimbulkan perpecahan antara sesama pengusung da’wah ala manhaj salaf saat ini, adalah munculnya pengklaim khwarij terhadap mereka yang terlalu tegas dalam da’wah dan sebagai reaksinya muncul pengklaim murji’ah terhadap mereka yang da’wahnya terlalu lembek. Apabila melihat dari segi materi-materi yang mereka sampaikan hampir rata-rata mereka sama dalam mengambil rujukan dari buku-buku ulama timur tengah seperti syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, bahkan ulama kontemporer syaikh bin Baz syaikh Utsaimin, Syaikh Albani dll, namun ketika telah sampai pada bab apakah fulan kafir atau tidak ketika telah melakukan perbuatan kekufuran mereka terpecah bahkan saling menyalahkan dan bagi yang terlalu keras di capnya sebagai khawarij sedangkan bagi yang terlalu lembek di capnya sebagai murji’ah sebagia reaksi dari pengecap khawarij.
Pemikiran yang di cap khawarij karena dianggap terlalu tegas dalam mengfonis, terlalu berani dalam mengkafirkan seseoarang secara terang-terangan bahkan disiarkan secara umum baik lewat halaqah-halaqah, pengajian-pengajian maupun lewat media mereka bahwa si fulan telah kafir karena telah melakukan perbuatan kekufuran demikian, demikian dan demikian, sehingga bagi mereka yang sependapat akan mengikuti mengkafirkan fulan tersebut sedangkan yang tidak muncul klaim sebaliknya bahkan menganggap mereka adalah khawarij yang mengkafirkan kaum muslimin secara serampangan.
Sedangkan yang telalu lembek pemikiran mereka kebalikan dari model pemikiran khowarij yang di atas, mereka terlalu toleran dan terlalu rumit dalam hal apakah fulan kafir atau tidak ketika telah melakukan perbuatan yang menyebabkan kafir, biasanya dalih mereka adalah apakah dia menghalalkan perbuatan tersebut (menghalalkan perbuatan kekufuran/ kema’shiyatan) atau tidak, atau dia mengingkari perbuatan tersebut (mengingkari perintah wajib) atau tidak, selama hati mereka ada keimanan maka ia tetap beriman ataupun selama tidak menghalalkan/membolehkan perbuatan kekufuran tersebut maka ia tetap dianggap sebagai seorang muslim meskipun ia telah melakukan perbuatan kekufuran yang tidak sekali.
Sikap tawassuth (pertengahan) dalam da’wah
Sebuah perdaan pasti akan muncul meskipun fakta adalah objektif namun ketika telah ditafsirkan oleh berbagai orang pasti akan tidak sepi dari berbagai perbedaan. Begitu juga dalam hal apakah fulan telah kafir atau tidak pasti banyak menimbulkan perbedaan pendapat, dalam konteks cara penanggulannya saja para imam fiqih berbeda pendapat apalagi yang menghukumi adalah seseorang yang tidak memiliki prioritas dalam hal tersebut, maka berakhir pada ujung saling mengfonis antara khowarij dan murji’ah.
Islam telah memiliki berbagai aturan-aturan dan konsekuensi hukum terhadap orang yang murtad, para ahli fiqih imam madzhab telah menjelaskan secara detail dalam masalah ini di berbagai kitabnya, dan merekapun sepakat bahwa yang menegakkan hukum antar fulan kafir atau tidak adalah mahkamah syar’iyyah sehingga dengan itu dapat ditindak lanjuti entah dibunuh atau diasingkan. Adanya mahkamah syar’iyyah sebagai penegak hukum terhadap kasus murtad adalah sebagai penjaga kelestarian dan persatuan umat, Ibnu Qoyyim menilai sebagai kebijakan politik untuk memelihara umat dan pranata kenegaraannya yang Islami, menjaga dari hambatan-hambatan dan musuh-musuh Islam yang senantiasa menuduh Islam. Dari sinilah sehingga prioritas fonis bahwa fulan telah keluar dari islam adalah mahkamah syar’iyyah yang kemudian ada konsekuensi untuk ditindak lanjuti bukan perindifidu yang tidak bisa bahkan sulit untuk menyatukan sebuah asumsi, disisilain tidak bisanya untuk menegakkan konsekuensi atas apa yang dituduhkannya itu.
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ ) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Dari Ibnu Abbas RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa berganti Agama, bunuhlah ia." (HR. Bukhari).
Sebenarnya apabila di kembalikan ke pendapat para imam madzhab tidak ada masalah dalam menyikapi masalah seperti ini, akan tetapi yang menyebabkan permasalahan adalah kurang fahamnya seseorang dalam hal fonis kafir terhadap sesama muslim yang kemudian diumumkan secara serampangan entah lewat pengajian halaqah media dan lain sebagainya. oleh karena itu adanya mahkamah syar’iyyah sebagai penegak keadilan, penjaga kelestarian, keamamanan dan kedamaiaan diantara sesama muslimin.
Allah berfirman:
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. Al-Maidah: 8).
Rosulullah saw bersabda:
حديث عن ابن عمر قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذكفر الرجل أخاه, فقد باء بها أحدهما. (رواه مسلم)
Hadis riwayat Ibnu Umar ra., ia berkata: Nabi saw. bersabda: Apabila seseorang mengafirkan temannya, maka ucapan (yang mengafirkan) itu benar-benar kembali kepada salah seorang di antara keduanya (yang mengatakan atau yang dikatakan). (HR. Muslim)
Ayat diatas menjelaskan tuntutan untuk berlaku tawasuth (pertengahan) adil sedangkan hadits menjelaskan untuk berhati-hati dalam mengfonis, tidak gegabah dan serampangan sehingga terhindari dari kata-katanya yang berbalik ke dirinya sendiri bisa jadi dirinya kafir atau orang yang dituduhnya kafir. Dari dua dalil diatas dapat difahami bahwa fonis hukum murtad tetap berlaku bagi mereka yang telah melanggar penyebab kekufuran namun disisilain konsekuensi dari fonis tidak dapat dijalankan karena tidak adanya mahkamah syar’iyyah, maka itu menurut penulis fonis itu cukup berlaku bagi dirinya sendiri dan tidak menyebar luaskan secara umum antisipasi terjadinya fitnah sehingga muncul klaim antara faham khowarij dan murji’ah.
Wallahu a’lam.